Share |

Jumat, 03 September 2010

JUST cerpen

Cerpen ini mengisahkan pengalaman pribadi,,, hehe


Selangkah Lagi.... dan Selangkah Lagi....

“Tet.... tet.... tet.... “, bel sekolah berbunyi tiga kali yang bertanda kegiatan belajar mengajar di sekolah telah usai dan waktunya untuk pulang. “Alhamdulillah,,,” serentak suara teman-teman yang dari tadi telah menanti bunyi bel pulang karena saat itu waktunya pelajaran kimia yang memusingkan kami, karena pelajaran kimia telah menguras otak untuk bergulat dengan rumus-sumus kimia yang cukup membingungkan kami.

“Ayo disiapkan dulu anak-anak!” perintah Bu Siti guru kimia kami.

“Duduk siap....... grak!” perintah Zaky atau yang akrab dipanggil Dardak yang suka rela untuk menggantikan Arif sebagai ketua kelas.

Lalu anak-anak segera duduk tegap. Tetapi seperti biasanya, anak-anak sudah membereskan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas tetapi hanya aku yang belum selesai. Walaupun demikian, aku tinggalkan bukuku yang masih berserakan dan mengikuti aba-aba dari Dardak.

“Berdoa.... mulai!”

“Sszszstztszt......,”suara desisan anak-anak yang sedang berdoa dengan seriusnya.

“Selesai!”

“Assalamu’alaikum Wr. Wb. ,“ salam Bu Siti kepada kami.

“Wa’alaikumsalam....... Wr. Wb.,” jawab kami dengan irama yang serentak dan molor.

Sehabis Bu Siti keluar, segera ku bereskan buku-bukuku dan bergegas keluar dari ruang kelas X-3ku dan berdiri di depan pintu menunggu Tia anak kelas X-1 yang selalu berangkat dan pulang bersama denganku karena aku dan dia sama-sama naik angkutan umum . Selain itu, rumahku dan rumahnya juga nggak begitu berjauhan walaupun kita tinggal di desa yang berbeda.

Setelah menuggu selama selang waktu yang hanya beberapa detik akhirnya dia keluar dari kelasnya dan berjalan menghampiriku. Seperti biasanya, dia selalu kelihatan ‘klemar-klemer’ karena setiap tindakan yang dia lakukan selalu ribet dan tidak cekatan atau ‘cak cek’, dalam berjalan juga begitu, kalau anak-anak bilangnya ‘klentak-klentuk’.

“Ki.....,” sapa Tia dengan melambaikan tangan halusnya yang belum pernah memegang deterjen untuk mencuci itu.

“Ayo......,” sahutku.

“Ki, ntar kamu bisa nggak ikut aku ke warnet di Perak? Soalnya aku punya tugas dari Bu Ida nyari gambar gitu Ki.”

“Dimana?”

“Gimana kalo di Fazanet?”

“Terserah kamu dhew.”

Lalu kami berjalan bareng menuju jalan raya. Dan budaya menggandeng tangan tidak terlupakan, aku dan Tia kalau berjalan bersama selalu bergandengan tangan. Tapi bukan hanya aku dan Tia saja, teman-teman cewekku yang lain juga gitu. Memang sich, itu hal yang wajar-wajar aja, tapi kalau teman-teman cowok kami, mereka jarang yang bergandengan tangan dengan teman sesamanya. Paling-paling mereka hanya bergandengan dengan pacarnya.

Akhirnya aku dan Tia sampai di pos polisi biasa kami nunggu angkutan umum. Ketika aku dan Tia nunggu angkutan sambil memandang sawah di pinggir jalan yang terlihat sangat asri itu, tiba-tiba terdengar “Krucuk-krucuk,” suara perut yang terdengaran sampai ke telingaku.

“Tia, kamu denger nggak suara perut barusan?”

“Hehehe... itu suara perutku Ki.”

“Ya ampuuun.... kamu lapar ya? Kalo lapar beli makan atau jajan aja dulu!”

“Ya dah Ki, kita beli ‘Ote-ote’ yuk....!”

“Ayo.....!”

Akhirnya aku dan Tia membeli ote-ote dulu di warung pinggir jalan dekat pos polisi yang biasanya menjadi tujuan aku dan teman-teman yang lain sepulang sekolah. Ote-ote yang berisi banyak wortel itu selalu seakan-akan menarikkku untuk mencicipinya. Rasanya enak, apalagi kalau makannya dengan gigitan cabai yang masih hijau, malah enak tenan rasanya.

Ketika aku, Tia, dan teman yang lain sedang asyik makan ote-oe kesukaan kami, tiba-tiba si merah beroda empat yang bertuliskan ‘JK(JOMBANG KERTOSONO)’ itu datang. Lalu aku dan Tia segera naik si merah atau yang biasa diberi nama angkutan umum itu. Seperti biasa kami berebut naik dulu, tapi aku dan Tia selalu aja yang paling akhir.

Matahari semakin terik, tenggorokanku yang kering kuguyur dengan es yang kubeli di warung yang sama ketika aku beli ote-ote tadi. Setelah kuguyur rasanya segar, tetapi beberapa menit kemudian haus lagi. Memang panasnya siang membuat kering tenggorokan.

Tak terasa si merah yang kami tumpangi sudah sampai di depan Fazanet, tempat dimana aku dan Tia akan internetan. Tempatnya bersebelahan dengan pasar Perak, tepatnya di sebelah kiri pasar tersebut.

“Kiri pak!” kode yang aku dan Tia ucapkan kepada supir angkutan yang berarti kami mau turun disitu. Lalu kami membayar ongkosnya pada supir angkutan.

Setelah kami turun, segera kami langkahkan kaki bersepatu hitam kami ke Fazanet karena di jalan sangat panas. Begitu kaki kami sudah masuk ke warnet, kipas anging mungil yang ada di dekat penjaga warnet itu meniupkan sedikit angin ke muka kami. Rasanya agak berkurang panas yang berkeliaran di badan kami ketika keringat kami sedikit demi sedikit terkikis oleh angin yang berasal dari kipas angin mungil tersebut. Uh,,, rasanya jadi agak lega.

“Maaf dek, masih penuh.” peringatan penjaga warnet yang umurnya sekitar 20 tahunan, berkulit putih, dan berambut kerebo itu kepada kami.

“Kira-kira masih lama nggak mas?” tanyaku dengan raut yang melas dan sedikit kecewa.

“Ya.... nggak sich. Paling-paling seperempat atau setengah jam lagi.”

Saat itu jarum jam tanganku menunjukkan pukul settengah dua. Aku dan Tia belum shalat dhuhur. Untungnya di seberang jalan ada masjid, jadi kami bisa shalat. Lalu aku dan Tia berdiri di pinggir jalan yang memantulkan panas itu berniat ingin menyeberang jalan menuju ke masjid. Rasanya sulit sekali menyeberang jalan dekat pasar, deretan kendaraan berlalu lalang tiada cela untuk kami lewati.

“Ayo nak, tak sebrangin!” tawaran bapak tukang becak yang sedang menunggu kedatangan penumpang dengan tulusnya.

“Ya Pak, makasih ya,” sahutku dan Tia.

Akhirnya bapak tukang becak itu membantu kami menyeberang dan kami sampai di masjid. Sesampainya di masjid, kami segera melepaskan sepatu hitam kami beserta kaos kaki kami. Setelah itu kami langsung ambil wudlu. Ketika air masjid yang sungguh segar itu membasahi muka yang rasanya gersang dan kotor, ah......... rasanya sejuk sekali. Apalagi setelah bagian-bagian yang harus dibasuh pada saat wudlu sudah seluruhnya terbasuh, bukan hanya raga saja yang merasakan kesejukan tetapi jiwa pun juga merasakan sejuknya setelah wudlu. Waaah,,,,,,,,,,,, rasanya hati ini tentram sekali...............

Kemudian kami segera ambil muknah dan shalat dhuhur. Setelah kurang lebih 5 menit kami shalat, kami pakai sepatu kami dan kembali ke tempat warnet yang kami datangi tadi.

“Sudah ada yang kosong mas?” tanyaku.

“Sudah dek, nomor 4 yang kosong.” jawab si penjaga itu.

Lalu segera kami masuki sel warnet nomor empat itu. Seperti biasanya, sambil mencari tugas kami membuka facebook kami. Ternyata banyak yang add facebookku dan segera ku konfirm. Kucolokkan flashdiskku dan kuunggah foto-fotoku bersama teman-teman di album facebookku. Sedikit waktu kuhabiskan buat chattingan dengan teman yang aku suka, yaitu teman-teman dari luar negeri. Setelah aku selesai, giliran Tia yang menngunakan jaringan internet itu.

Sambil menunggu Tia yang sedang mencari tugas bu Ida mencari gambar-gambar itu, aku makan snack yang aku beli di sekolah tadi dan belum sempat kumakan. Tak terasa aku sudah nunggu lama. Setelah aku lihat layar LCD yang digunakan Tia, ternyata dia main facebook. Aku pun agak kesal dengannya karena kubela-belain chattingan hanya beberapa menit dan kuberikan kesempatan internetan lama buat dia, ternyata dia tidak sibuk mencari gambar yang disuruh bu Ida tetapi malah facebookan satu jam lebih, percuma aku nunggu lama kalau Tia cuma main saja. Ah.... kesalku sudah di ujung. Ingin kulontarkan tapi ku mencoba menenangkan diri yang sungguh kesal ini.

“Tia, ayo kita pulang!” ajakku dengan kata-kata yang agak dingin.

“Lho Ki, kamu marah ya?” tanyanya padaku.

“Nggak, aku cuma kesel dan kecewa aja sama kamu.”

“Maaf Ki,”

“Ya udah, tapi lain kali jo dibaleni maneh!”

“Ya Ki, aku janji.”

Lalu kami bayar ke penjaga warnet itu.

“Makasih adik-adik.”

“Sama-sama,” jawabku dan Tia.

Setelah itu, kami langkahkan kaki yang kesemutan setelah duduk hampir dua jam kami ke luar warnet dan berdiri di pinggir jalan menanti datangnya angkutan. Langit yang mendung membuatku dan Tia tidak betah berdiri lama-lama, karena kami terhembus oleh angin dingin yang mendirikan bulu kami.

Sudah lama kami menanti datangnya angkutan, tapi dia tak kunjung datang. Padahal biasanya jam setengah empat masih ada angkutan yang lewat, tapi kali ini tak satu pun angkutan yang lewat. Memang sich, kalau cuaca mendung para sopir enggan untuk melajukan angkutannya. Jadi, kemungkinan kali ini tidak ada len yang berkeliaran.

Jam tanganku sudah menunjukkan jam empat kurang seperempat, tapi si merah tak datang juga. Dari pada menunggu yang tak pasti akhirnya aku dan Tia memutuskan untuk jalan kaki sampai Temuwulan, desa dimana aku sekarang tinggal. Jadi, kami akan berjalan dari Perak sampai Temuwulan. Jarak Perak-Temuwulan cukup jauh sekali. Tapi bagaimanapun juga kami harus bisa.

Saat itu kebetulan aku dan Tia tidak punya pulsa untuk menelpon orang rumah supaya menjemput kami. Sebenarnya kami ingin membeli pulsa, tapi kios pulsa yang ada di pinggir jalan semuanya tutup. Kami tak kunjung menemukan kios pulsa yang buka, mungkin karena cuaca mendung yang menyebabkan mereka menutup kiosnya.

Dengan terpaksa kami langkahkan kaki kami sedikit demi sedikit dan berharap ada angkutan di belakang kami. Keringat yang keluar dari kulit kami tertiup oleh angin dingin yang seakan-akan mengandung uap dingin. Kamipun menggigil kedinginan karena terpaan angin dingin tersebut.

Setelah sekitar dua puluh menit kami berjalan, kami sampai di Stasiun Sembung. Itu masih 2/6 perjalanan, masih kurang 4/6 perjalanan lagi. Tia anaknya lemah, jadi dia selalu saja berkata bahwa dia tidak kuat. Tapi aku terus saja menyuportnya, walaupun aku sendiri sebenarnya sudah berat sekali melangkahkan kaki.

Setengah jam kemudian, aku dan Tia sampai di depan SD Ngglagahan. Kami sungguh merasa terbang, kaki kami ini rasanya seperti tertindi batu besar yang menjatuhkan beban ke kaki kami. Kami seperti jalan di tebing yang jauh dari peradaban dengan angin kencang dingin yang menerpa, karena pada saat itu jalan sepi dan hanya beberapa kendaraan besar saja yang lewat.

Lalu kami memutuskan untuk istirahat sejenak selama kurang lebih lima menit. Setelah itu aku menajak Tia untuk melanjutkan perjalanan. Perut kami yang sudah keroncongan itu sungguh tidak mendukung perjalanan kami, apalagi udara yang sangat dingin, ingin rasanya minum coklat hangat. Tetapi walaupun demikian kami tetap melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi Tia berkata bahwa dia tak sanggup.

“Ki, aku nggak kuat. Rasanya aku ingin pingsan.”

“Jangan gitu donk.... kita pasti bisa,” semangatku sambil menggandengnya.

“Ntar kalau aku pingsan, jangan tinggalin aku ya!”

“Ya enggak lah,,, lagian, kamu nggak boleh pingsan.”

“Tapi Ki.....”

“Udahlah..... selangkah lagi......... selangkah lagi dan selangkah lagi.......... kita pasti dan harus bisa.”

Di tengah-tengah harunya perjalanan, tiba-tiba Tia berkata padaku, dan perkataannya sungguh mengejutkanku. Dia berkata dengan suara yang sangat melas dan lesu,”Ki, kita foto-foto dulu ya....”

“Aduh Tia..... aku kira kamu mau bilang apa, eh... ternyata ngajak foto, tapi aku mau kok, kan fotonya buat kenang-kenangan kalau kita pernah mengalami kisah unik ini.”

Kemudian kita foto-foto sambil melangkahkan kaki.

Jam tanganku sudah menunjukkan pukul lima lebih seperempat, kami sudah sampai di Rumah Makan Pojok Dua, itu berarti desaku sudah dekat. Rasanya kakiku kram tertusuk dinginnya udara sekitar.

Dan tepat pada pukul setengah enam aku sudah sampai di desaku, kurang beberapa meter lagi kami sampai di rumah. Tapi sebelum sampai di rumah, kami foto foto dulu di depan balai desa.

Setelah foto-foto, aku dan Tia pulang ke rumahku. Rumah tia ada di sebelah barat desaku. Sesampai di rumah, ternyata ibu ada di depan pintu dan memarahiku. Kata ibu kakakku yang biasa aku panggil mas koko itu pergi mencariku, lalu ibu menelfon dan menyuruhnya pulang. Sedangkan Tia, dia menelfon ibunya dan izin tidur di rumahku dan ibunya mengijinkannya.

Yach......... itu pengalaman yang masih dan pasti kuingat sampai kapan pun......

 
Only A Simplicity Design by: Yanmie at Permata Hatiku